Jumat, 19 Agustus 2011

INVENTARISASI PERJANJIAN DAN AKAD TRANSAKSI DALAM BEBERAPA KITAB FIKIH KLASIK


INVENTARISASI PERJANJIAN DAN AKAD TRANSAKSI DALAM BEBERAPA KITAB FIKIH KLASIK
Oleh: Ahmad Solihin

A.  PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Ungkapan yang cukup populer ditelinga kita tentang keutaan orang yang berilmu adalah firman Allah yang tertuang dalam Qs. Al-Mujadilah:11

Artinya: “... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Mujadilah:11)

Selaras dengan firman Allah Swt diatas adalah ungkapan Rasulullah Saw yang dengan tegas menyebutkan, ‘Barang siapa yang menginginkan dunia, maka dengan ilmu. Dan barang siapa menginginkan akhirat, maka dengan ilmu. Dan barang siapa ingin keduanya, maka dengan ilmu.’ Ungkapan diatas bermakna sangat umum dan Rasulullah tidak membatasi kita dalam menuntut ilmu. Bahkan memberi peluang dan kebebasan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Rasulullah juga memberikan perumpamaan sekaligus motivasi yang ummatnya, tentang keutamaan orang-orang berilmu. Ungkapan beliau yang senantiasa terabadikan dan tentunya masih segar dalam ingatan kita adalah. ‘Perumpamaan orang orang berilmu (‘Alim) dengan orang yang ahli ibadah (‘Abid) adalah umpama bulan dan bintang’.
Sedangkan bila kita kaitkan dengan kajian tentang akd transaksi maka sungguh ilmu yang harus kita kaji sangat luas sekali. Mengapa demikian? Karena kajian tentang akad yang merupakan bagian dari kajian bidang mu’amalah senantiasa dilandasakan pada kaidah:

الأ صْلُ في المُعَامَلَةِ اِبَاحَه حَتَى يَدُلٌ الدَ لِيلُ عَلَى تَحْريْمِهِ

Artinya: “Hukum asal dalam mu’amalah adalah boleh, sampai ada dalil yang melarangnya/mengharamkannya”.

Sedangkan akad, yang serinng di istilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ atau ‘akad,  menurut istilah fuqaha’, dapat berarti :
اِرْتِبَاطُ اِيْجَابِ بِقَبُولٍ عَلَى وَجْهِ مَشْرُوعٍ يَظْهَر اَثْرَه فِي مَحَلِهِ
Artinya: “Akad ialah Perikatan ijab dengan qabul cara-cara yang disyari’atkan yang mempunyai danpak pada yang diakadkan itu.[1]

Dari firman Allah dan dua ungkapan Rasulullah diatas cukup jelas bagi kita bahwa betapa pentingnya kita senantiasa menuntut ilmu. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba untuk kembali menyegarkan semangat untuk menuntut ilmu dari para ulama-ulama terkemuka dan panutan di masa nya. Semoga ini semua dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan kita semua.

B.     PEMBAHASAN
1.         Perjanjian dan Akad Transaksi dalam Kitab Imam Abu Hanifah

a.        Sejarah Singkat Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, lahir tahun 80 H di kota Kufah pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Beliau lebih populer dipanggil Abu Hanifah. Kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta. Ini karena beliau banyak menulis dan memberi fatwa.
Abu Hanifah pada mulanya adalah seorang pedagang yang sering pulang-pergi ke pasar. Hingga suatu ketika beliau bertemu dengan Sya’bi yang melihat bakat kecerdasan Abu Hanifah dan menyarankannya agar banyak menemui ulama mempelajari agama. Nasehat Syabi’ berkesan di hati Abu Hanifah, kemudian beliaupun banyak berguru kepada para ulama.
Imam Abu Hanifah mendapatkan hadits dari Atha’ bin Abi Rabah, Abu Ishaq As Syuba’I, Muhib bin Disar, Haitam bin Hubaib Al Sarraf, Muhammad bin Mukandar, Nafi Maula Abdullah bin Umar, Hisyam bin urwah dan Samak bin Harb. Beliau mempelajari Fiqih dari Hammad bin Sulaiman, mempelajari qiraat dari Imam ‘Ashim (salah satu qurra’ tujuh). Beliau seorang hafidz (hafal Al-Qur’an), pada bulan Ramadhan mengkhatamkan Al-Qur’an 60 kali.
Al-Dabussi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyebutkan : “Abu Hanifah suka pada kebebasan berpikir. Ia seringkali memberikan kepada sahabat dan murid-muridnya untuk mengajukan keberatan-kebaratan atas ijtihadnya. Imam Abu Hanifah dalam mempelajari suatu masalah menukik dalam sampai ke akar permasalahan. Beliau memahami inti hakikat (lubb al-haqa’iq), memahami isi dan misi yang terdapat dibelakang nash-nash itu dalam bentuk illat-illat dan hukum-hukum.” Imam Abu Hanifah berkata : “Perumpamaan orang yang mempelajari hadits, sedangkan ia tidak memahami, sama halnya dengan apoteker yang mengumpulkan obat, sementara ia tak tahu persis untuk apa obat itu digunakan, akhrinya dokter datang….demikianlah kedudukan penuntut hadits yang tidak mengenal wajah haditsnya, sehingga hadirnya fiqih”.
Imam Abu hanifah dikenal teguh hati dan kokoh dalam pendirian. Beliau pernah mengalami dua kali masa ujian. Pertama pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad (Khalifah terakhir Bani Umayyah), Ibnu Hubairah (gubernur Iraq) menunjuk Imam Abu Hanifah menjadi qadly, namun pengangkatan itu ditolak oleh Imam Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah dipukul sampai empat belas kali sebagai hukuman karena dianggap tidak mendukung pemerintahan Bani Umayyah.
Ujian kedua dialami pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Manshur dinasti Abbasyah. Kasusnya hampir sama, karena Imam Abu Hanifah menolak diangkat menjadi Qadly oleh Khalifah Al Manshur. Beliau dipenjara dan disiksa dalam penjara. Beliau juga dicurigai mendukung gerakan kaum Alawiyin yang dituduh berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Akhirnya Imam Abu Hanifah meninggal karena diracun dalam penjara. Pada tahun 150 H, bersamaan dengan meninggalnya Imam Abu Hanifah, lahir Imam Syafi’i.
Adapun metode-metode ijtihad Imam Abu Hanifah :
1)        Al-Qur’an
2)        Hadits dari riwayat kepercayaan.
3)        Ijma’
4)        Fatwa Shabat
5)        Qiyas
6)        Istihsan (keluar dari qiyas umum karena ada alasan yang lebih kuat).
7)        Urf (kebiasaan yang baik dalam tata-pergaulan, muamalah dikalangan manusia)


b.        Kitab-Kitab Fikih Karya Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar kodifikasi ilmu Fiqih, pemikiran-pemikiran beliau kemudian ditulis dan dibukukan oleh sahabat sekaligus murid-muridnya seperti Abu Yusuf Al Qadhy dan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani. Fiqih mazhab Hanafi mewakili aliran Kufah, menggunakan porsi ra’yu (Qiyas) lebih banyak dibandingkan aliran Hijaz yang lebih banyak menggunakan hadits/atsar.  
Kitab-kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi :
Tentang Masailul Ushul :
1)      Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Al Hasan.
2)      Al-Jami’us Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
3)      Al-Jami’ul Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
4)      As-Sairus Shaghir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
5)      As-Sairus Kabir, karya : Muhammad bin Al Hasan.
6)      Az-Zidayat, karya : Muhammad bin Al Hasan.
7)      Al-Kafi, karya : Abdul Fadha’ Hammad bin Ahmad.
8)      Al-Mabshuth, karya : Muhammad bin Muhammad bin Sahl.

2.         Perjanjian dan Akad Transaksi dalam Kitab Imam Malik bin Anas

a.        Sejarah Singkat Imam Malik bin Anas (93 – 179 H)

Nama lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau sudah hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama. Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry, Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’ bin Abu Nu’man. Ibnu Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian di jual kepasar”.
Imam malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW. Ibnu Abdu Al-Hakam mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama dengan gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya. Abu Dawud mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau Hasan Al Basri.” Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”. Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram. Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata : ‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya, “Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya. 
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits”. Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan kitab hadits tertua yang sampai kepada kita. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur Madinah, Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai 80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda keliling kota Madinah. Sejak itu  namanya bukannya menjadi cemar,  justru makin melambung dan harum dimata umat. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana, maka Imam Malik berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”. Akhirnya Khalifah Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al Amin datang ke Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.
Khalifah Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”. Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa. Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat, yaitu  : Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Adapun metode ijtihad Imam Malik bin Anas :
1)        Al-Qur’an
2)        Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
3)        Ijma’
4)        Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
5)        Qiyas
6)        Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
7)        Perkataan Sahabat.

b.        Kitab-Kitab Fikih Karya Imam Malik bin Anas

Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1)      Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2)      Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3)      Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4)      Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).

3.         Perjanjian dan Akad Transaksi dalam Kitab Imam As-Syafi’i

a.        Sejarah Singkat Imam As-Syafi’i (150 – 204 H)

Seorang pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya  Imam Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin). Beliau dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam Syafi’i kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’ karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di Masjidil Haram. Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’  di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan akhrinya menerimanya menjadi muridnya. Imam Syafi’i  kemudian menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’ kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai di Irak, imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf. Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota yang dikunjungi Imam Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat, melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2 tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali Negeri Yaman mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi (cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang putri.
Di Yaman Imam Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat yang pada saat itu sedang marak dipelajari. Pada waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.   Pada sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir  telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid (pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti, memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafi’i :
1)      Al-Qur’an
2)      Hadis
3)      Ijma’
4)      Qiyas
5)      Istidlal

b.        Kitab-Kitab Fikih Karya Imam As-Syafi’i

Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah. Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam Syafi’i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafi’i :
1)      Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2)      Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3)      Jami’ul Ilmi.
4)      Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5)      Ar-Raddu ‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6)      Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7)      Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8)      Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.

c.         Sistematika Kajian tentang Perjanjian dan Akad Transaksi

Dalam kitab Al-Mahdub fi Fiqhi al-Imam as-Syafi’i karya Syaih Imam Ibnu Ishak Ibrahim bin Ali sistematika kajiannya adalah sebagai berikut:


1.    Kitab al-Buyu’,
-     al-Bai’
-     as-salam
2.    Kitab al-Rahn
3.    Kitab as-Sulhu
4.    Kitab Hiwalah
5.    Kitab ad-Dhonan
6.    Kitab as-Syirkah
7.    Kitab al-Wakalah
8.    Kitab al-Wadi’ah
9.    Kitab al-‘Ariyah
10.    Kitab al-Ghosob
11.    Kitab al-Qirad
12.    Kitab al-Ijarah



4.         Perjanjian dan Akad Transaksi dalam Kitab Imam Ahmad bin Hambal

a.        Sejarah Singkat Imam Ahmad bin Hambal (164 – 241 H)

Lahir di kota Baghdad pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut. Ketika berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah. Mengenai gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Imam Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu hadits, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”. Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar kepala”.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat. Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri. Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qur’an. Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1)      Al-Qur’an
2)      Hadits
3)      Ijma’ Sahabat
4)      Fatwa Sahabat
5)      Atsar Tabi’in
6)      Hadits Mursal / Dhaif
7)      Qiyas

b.        Kitab-Kitab Karya Imam Ahmad bin Hambal

Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
1)      Tafsir Al-Qur’an.
2)      Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
3)      Kitab Nasikh wal Mansukh.
4)      Al Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
5)      Jawabatul Qur’an.
6)      Kitab At Tarikh.
7)      Al Manasikul Kabir.
8)      Al Manasikus Saghir.
9)      Tha’atur Rasul.
10)  Al-‘Illah.
11)  Kitab Zuhud.
12)  Kitab Ash Shalah.

5.         Sistematika Kajian tentang Perjanjian dan Akad Transaksi

Abdurrahman al-Huzairi dalam Kitab Fikih ‘ala madzhabi arba’ah Juz 2-3 mengemukakan sistematika kajian dalam akad transaksi mu’amalah sebagai berikut:


a.    Al-Bai’
1)      Riba
2)      Salam
3)      Rahn
4)      Qirad
b.    Mujara’ahdan Musyafahah
c.    Mudharabah
d.   Syirkah
e.    Ijarah
f.     Wakalah
g.    Hiwalah
h.    Dhiman
i.      Wadi’ah
j.      Ariyah
k.    Hibah
l.      Wasiyah



6.         Analisis dan filosofi Sistematika Kajian tentang Perjanjian dan Akad Transaksi dalam Kitab Fikih.

Dari penyajian-penyajian sistematika dari kitab-kitab diatas dapat kita uraikan mengapa kajian dimulai dari kitabul buyu’/ al-bai’u. Menurut hemat penulis hal ini didasarkan pada filosofis landasan yang cukup jelas tertuang dalam al-Qur’an, yakni allah Swt menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sebagaimana tertuang dalam Qs. Al-Baqarah : 275
Artinya: “...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Qs. Al-Baqarah:275)

Kajian selanjutnya tentunya disesuaikan dengan sunnah dan contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Yang tentunya diawali dari yang mutawatir dan tidak ada ikhtilaf didalamnya. Seperti mujara’ah. Yakni kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah dengan memberRasulullah bersabda: “kan tanah khaibar kepada penduduk (waktu itu masih yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. [2] Mengapa mujara’ah menjadi kajian awal setelah Kitabul buyu’ tentunya karena hal ini yang banyak dilakukan pada masa itu. Jadi ini lah salah satu luarbiasanya ulama’-ulama’ dahulu mereka mampu menyesuaikan kajian sesuai dengan realita yang ada pada masa terjadinya.
Kajian berikutnya adalah mudharabah, musyarakah/syirkah, ijarah, dst pengelompokan dan tertib kajian ini dilakukan karena transaksi-transaksi diatas merupakan transak-transaksi bisnis yang berkaitan dengan perdagangan/usaha, namun hal yang membedakan dengan buyu’ adalah sumber-sumber yang dijadikan dasar transaksi ini lebih banyak didasarkan pada as-Sunnah serta sistem dalam pengambilan keuntungan lebih pada bagi hasil. Makanya tidak dijadikan kajian diawal bersama kitabul buyu’ melaikan menjadi kajian tersendiri.
Adapun beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan akad transaksi diatas adalah sebagai berikut:

عن ابي هريرة رفعه قال اب الله يقول انا ثالث الشريكيب مالم يخن احدهما صاحبه

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, Aku Pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya. (HR. Abu Daud no.2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)[3]

ان النبي صلى الله وآله وسلم قال : ثلاث فيهن البركة، البيع الى اجل ، والمقارضة،
وخلط البربالشعير للبيت لا للبيع {رواه ابن ماجح عن صهيب}

Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).[4]

Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
من استأجر اجيرا فليعلمه اجره

Barang siapa mempekerjakan seorang pekerja, maka hendaknya ia memberitahukan kadar upahnya kepada pekerja tersebut.{HR. Abd.al-Razzaq}[5]
Kajian berikutnya adalah yang berbasis jasa seperti hiwalah, wakalah, ariyah, wadi’ah, dst. Hal ini secara umum didasarkan pada sabda Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh imam Muslim:

وَالله فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أحِيْهِ
Artinya: “Dan, Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”.(HR.Muslim, no.4867, kitab az-Zikr)[6]

Adapun kajian akhir ditutup dengan kajian yang lebih mengedepankan jiwa ssosial, hal ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa segala akad transaksi yang kita lakukan tidak semata-mata untuk kepentingan bisnis dan kepentingan duniawi semata melaikan harus senantiasa seimbang antara kepenteingan dunia dan akhirat. Sebagaimana ditegaskan oleh allah dalam Qs. Al-Qashash:77
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs.Al-Qashash:77)

Dari sinilah jelas bagi kita bahwa para ulama’ terdahulu dalam mengambil hukum dan mengkaji sesuatu senantiasa disesuaikan dengan sumber tertinggi. Baik dari sistematika dalam pembahasan maupun dari cara beristimbath dalam hukum. Dan selanjutnya adalah kondisi real yang terjadi dimasyarakat pada masa itu.
 

C. KESIMPULAN

Dari uraian singkat diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.         Ilmu adalah hal yang sangat urgen dan signifikan dalam menentukan baik-buruknya kualitas seorang hamba. Maka dari itu menuntut ilmu menjadi kewajiban bagi setiap muslim sehingga mampu menjadi seorang muslim yang berkualitas.
2.         Semangat dalam menuntut ilmu telah dicontohkan oleh para imam terdahulu, sehingga layaklah kiranya kita semua malu terhadap mereka karena dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada pada masa itu para ulama dengan semangat menuntut ilmu hingga lintas negara bahkan benua.
3.         Sistematika akad transaksi yang ada dalam kitab-kitab fikih klasik, tidak jauh berbeda dalam penyajiannya dan dalam mengambil sumber hukum juga senantiasa berdasarkan hirearki yang sesuai yakni al-Qur’an, as-Sunnah, dst. Adapun  secara umum sistematika kajian akad transaksi dapat diklasifikasikan dalam 5 bagian, yaitu:
    1. Berbasis Jual beli
    2. Berbasis Bagi hasil
    3. Berbasis Jasa
    4. Berbasis shadaqah dan amanah.









DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’annul Karim

Abdurrahman al-Huzairi, Kitab Fikih ‘ala Madzhabi Arba’ah,  Juz 2-3

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani &Tazkia cendikia, 2009

Syaih Imam Ibnu Ishak Ibrahim bin Ali, Al-Mahdub fi Fiqhi al-Imam as-Syafi’i, Juz 1

Suharto, Hukum Islam tentang Perjanjian Kerja, (Lampung: Fakta Press IAIN Raden Intan, 2009), h.52

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalah, Jakarta:Bulan Bintang,  1974.

ahmadfaruq.blogdetik.com



[1] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta:Bulan Bintang,  1974),  h.10
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani &Tazkia cendikia, 2001)  Cet. Ke-13, h. 99.
[3] Ibid., h. 91
[4] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
[5] Suharto, Hukum Islam tentang Perjanjian Kerja, (Lampung: Fakta Press IAIN Raden Intan, 2009), h.52
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., h. 122.

0 komentar:

Posting Komentar