Jumat, 19 Agustus 2011

SUMBER-SUMBER HUKUM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH DALAM AS-SUNNAH


SUMBER-SUMBER HUKUM
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH DALAM AS-SUNNAH

A.  PENDAHULUAN
Gagasan adanya Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang beroperasi berdasarkan pada prinsip syariat Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam. Gagasan mengenai konsep ekonomi Islam secara internasional muncul pada dasawarsa tahun 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konferensi internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada Tahun 1976. Diantara pemikir-pemikir sistem ekonomi Islam tersebut terdapat pola kecenderungan yang berbeda-beda, pemikir yang cenderung kepada aspek teoritis, memberikan alternatif pada tataran konsep dan pemikir yang kecenderungannya pada aspek pragmatis dengan cara mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah, salah satu diantaranya adalah mendirikan lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Dalam perkembangannya, kelompok pragmatis inilah yang justru lebih tampak keberhasilannya ketimbang pada aspek konsepsi, karena memang jauh sebelum adanya gagasan ekonomi Islam telah diawali dengan suatu upaya untuk mendirikan bank-bank Islam.
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Oleh karenanya perlu adanya lembaga yang mendampingi lembaga keuangan syari’ah tersebut. Seperti: Ulama yang menguasai ilmu syariat sehingga mampu menghasilkan fatwa-fatwa yang valid dan akurat. Hal ini penting karena dengan adanya pendampingan oleh lembaga yang ahli akan menumbuhkan pemahaman yang syumul dan benar dalam memahami konsep-konsep yang ada. Pemahaman ini meliputi sumber-sumber hukum yang dijadikan rujukan serta tata cara/kaifiyah dalam pelaksanaan konsep yang ada.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber-sumber hukum Islam terdiri dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas merupakan sumber-sumber hukum yang telah disepakati. Pembahasan untuk masalah ini sangat luas dan kompleks. Sesangkan makalah ini akan dibatasi sesuai dengan judul yakni hanya akan membahas sumber hukum lembaga keuangan syariah dalam as-Sunnah.

B.     PEMBAHASAN

Pesatnya laju perkembangan lembaga keuangan syari’ah ini karena lembaga ini memiliki keistimewaan, yaitu yang melekat pada konsep (build in concept) dengan orientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan lembaga keaungan syari’ah mampu tampil sebagai alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya masih khilafiyah. Namun demikian sebagai lembaga yang eksistensinya lebih baru daripada lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan muslim ini menghadapi permasalahan-permasalahan baik yang melekat pada aktivitas maupun pelaksanaannya dengan kata lain antara teori dan praktek atau antara cita dan harapan.
Pada dasarnya aktivitas lembaga keuangan syari’ah tidak jauh berbeda dengan aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang telah ada (konvensional), perbedaannya selain terletak pada orientasi konsep juga terletak pada konsep dasar operasionalnya yang berlandaskan pada ketentuan-ketentuan dalam Islam. Dengan muculnya berbagai Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia, hal demikian tentu harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan negara Indonesia, baik di bidang sosial, ekonomi maupun hukum. Selain itu juga harus memenuhi persyaratan pendirian dan operasionalisasinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

1.      Pengertian Sumber, Hukum dan Sunnah.
Secara etimologi (bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Adapun secara terminologi ( istilah ) dalam ilmu ushul, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa Alquran dan Al-Sunnah.  
Sedangkan hukum oleh para ahli ushul didefenisikan sebagai berikut:
خطاب الله المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخييرا او وضعا
Perintah / firman Allah Swt yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), atau pilihan (kebolehan) atau wadh'i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi seseatu hukum)[1]

Dari definisi di atas menunjukan, bahwa yang menetapkan hukum itu adalah Allah Swt. Hanya Allah hakim yang maha tinggi dan maha kuasa. Rasulullah penyampai hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapkan hukum, maka sumber hukum yang pertama dan paling utama adalah wahyu Allah yaitu Alquran, kemudian sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang ke dua, dan sumber hukum yang ke tiga adalah Ijtihad.
Sebagaimana telah disampaikan pada pendahuluan makalah ini hanya akan dibatasi pada pembahasan tentang sumber hukum keuangan syari’ah dalam as-Sunnah. Lalu pengertian Sunnah itu sendiri adalah as-Sunnah secara bahasa berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti:قريب  = dekat,  جديد = baru,  خبر = berita. Dari arti-arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti dalam firman Allah dalam Qs. At-Thuur : 34
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh :
ماصدر عن النبي غير القرأن من قول او فعل او تقرير
Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alqur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Adapun hadits-hadits Rosulullah yang memerintahkan untuk berdalil berdasarkan as-Sunnah antara lain:
قال النبي : الا و اني اوتيت القران ومتلة معه {روه ابو داود و الترمدي}

Nabi saw. bersabda : ingatlah sesungguhnya telah didatangkan kepadaku Alqur'an dan yang sepertinya bersama Alqur'an. (Yaitu telah diberikan kepadaku yang sepertinya berupa Al-Sunnah) {HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi}
قال النبي : عليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنوجد {رواه احمد}

Hendaklah kamu berpegang teguh kepada Sunnahku, sunnah khulafau' al-Rasyidin yang pada mendapat petunjuk , gigitlah sunnah dengan taring. {HR.Ahmad}

2.      Hadits-Hadits yang dijadikan Sumber Hukum Lembaga Keuangan Syariah.
a.      Hadits tentang  Mudharabah

Mudahrabah adalah salah satu prinsip yang digunakan dalam akad transaksi produk yang ada di lembaga keuangan syariah. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan bila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[2] Adapun hadits-hadits yang dijadikan sumber hukum dalam transaksi ini sebagai berikut.
كان شيدنا العباس بن عبد المطالب ادا د فع  المال مضاربة اشترط على صاحبه
 الا يسلك به بحرا، ولاينزل به واديا ، ولايشتري به دابة دات كبد رطبة، فان فعل
 د لك ضمن ، فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فأجازه
{رواه الطبراني في الأوسط عن ابن عباس}
Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya. (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).[3]

ان النبي صلى الله وآله وسلم قال : ثلاث فيهن البركة، البيع الى اجل ، والمقارضة،
وخلط البربالشعير للبيت لا للبيع {رواه ابن ماجح عن صهيب}

Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).[4]


الصلح جائز بين المسلمين الا صلحا حرم حلالا او احل حراما {رواه الترمدي
عن عمرو بن عوف}

Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; ... (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).[5]

Dari ketiga hadits ini maka jelaslah oleh kita bahwa produk dengan sistem mudharabah yang ada dalam lembaga keuangan syariah diperbolehkan menurut syari’ah. Realita yang ada banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut. Dan tentunya baik shahibul mal dan mudharib ada akad yang jelas yang tidak melanggar prinsip-prinsip akad.

b.      Hadits tentang Ijarah

Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.[6] Aplikasi produk al-Ijarah dapat dalam bentuk leasing, baik dalam bentuk operating lease maupuun financial lease. Akan tetapi pada umumnya bank/lembaga keuangan syariah lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain igtu lembaga juga tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Hadits-hadits yang diambil sebagai sumber hukum produk ini diantaranya hadits riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:

اعطوا  الأجير اجره قبل ان يجف عرقه
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering[7].

Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
من استأجر اجيرا فليعلمه اجره

Barang siapa mempekerjakan seorang pekerja, maka hendaknya ia memberitahukan kadar upahnya kepada pekerja tersebut.{HR. Abd.al-Razzaq}[8]
Dari kedua hadits ini jelas oleh kita bahwa ujrah/imbalan/upah adalah hal yang wajib dipenuhi.





c.       Hadits tentang Wakalah

Wakalah atau wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Akan tetapi yang dimaksud dengan wakalah dalam pembahasan makalah ini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.[9] Hadits yang dijadikan sebagai sebagai sumber hukum produk ini antara lain:

ان رجلا اتى النبي صلى اللهم عليه وسلم يتقاضاه فاغلظ فهم به اصحابه فقال رسول الله
 صلى اللهم عليه وآله وسلم : دعوه ، فان لصاحب الحق مقالا، ثم قال : اعطوه سنا مثل سنه .
قالوا : يارسول الله لا تجد الا امسل من سنه. فقال اعطوه ، فان من خيركم احسنكم قضاء
{رواه البخاري عن ابي هريرة}

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk “menanganinya”. Beliau bersabda, ‘Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;’ lalu sabdanya, ‘Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)’. Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.’ Rasulullah kemudian bersabda: ‘Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[10]

Mencermati hadits diatas ada yang berpendapat atas kebolehkan wakalah, bahkan memandangnya sebagai sunnah, karena hal itu termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang oleh al-Qur'an dan hadits.

d.      Hadits tentang Kafalah

Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[11] Diantara hadits yang dijadikan dasar adalah:
عن سلمه بن الاكوع ان النبي صلى الله عليه و آله وسلم اتي بجنازة  ليصلي عليها ،
 فقال هل عليه من دين ؟ قالوا : لا، فصلى عليه ، ثم اتي بجنازة اخرى ، فقال هل عليه
من دين؟ قالوا : نعم ، قال: صلوا على صاحبكم قال ابو قتاده : علي دينه يا رسول الله ،
 فصلى عليه

Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut. (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).[12]


والله في عون العبد ما كاب العبد في عون أخيه

Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.




e.       Hadits tentang Musyarokah dan Murabahah

Al-Musyarokah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[13] Sedangkan murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[14] Untuk masalah murabahah dan musyarokah konsep yang dipakai adalah kaidah umum yang berpijakan pada:
لاضرر ولاضرار

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.
عن ابي هريرة رفعه قال اب الله يقول انا ثالث الشريكيب مالم يخن احدهما صاحبه

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa jalla berfirman, Aku Pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya. (HR. Abu Daud no.2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)[15]

Dari dasar hukum diatas jelas sekali oleh kita bahwa musyarokah dan murabahah adalah produk yang sisepakati kebolehannya dalam lembaga keuangan syariah.
f.       Hadits tentang Qardh


Tidak diperselisihkan lagi di kalangan kaum muslimin tentang kebolehan qiradh. Mereka juga sepakat bahwa bentuk qiradh adalah jika seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk digunakan dalam usaha perdagangan, dimana pihak yang bekerja (yang diserahi uang) berhak memperoleh sebagian tertentu dari keuntungan harta itu.[16] Sedangkan Al-Qardh yang dimaksud dalam makalah ini adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau dimintai kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[17]
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama’ berdasarkan pada hadits-hadits berikut:

عن ابن مسعود ان النبي صلى الله عليه وسلم قال ما من مسلم يقرض مسلما قرضا
 مرتين الا كان كصدقتها مرة

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi Saw. Berkata, bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah. (HR. Ibnu Majah no.2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)[18]



من فرخ عن مسلم كربة من كرن الدنيا ، فرج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ،
والله في عون العبد مادام  العبد في عوني اخيه {رواه مسلم}

Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (HR. Muslim).[19]
مطل الغني ظلم ... {رواه الجماعة}

Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” (HR. Jama’ah).[20]
لي الواجد يحل عرضه وعقوبته {رواه النسائي وابوداود و ابن ماجه واحمد}

Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad).[21]
ان خيركم احسنكم قضاء {رواه البخاري}

Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya” (HR. Bukhari).[22]

g.      Hadits tentang Wadi’ah (Titipan)

Sumber dana dalam sistem lembaga keuangan syariah merupakan hal yang esensial yang harus terpenuhi dan terpolakan. Salah satu sumber itu adalah Wadi’ah, yaitu simpanan dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit), tetapi tidak memperoleh imbalan atau keuntungan.[23] Sehingga bila kita sederhanakan pengertian wadi’ah ini adalah titipan. Hadits riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi ini merupakan salah satu dasar di bolehkannya wadi’ah.

ادالأمانة الى من ائتمنك ولاتخن من خانك {رواه ابو داود و الترمدي، وقال حديث حسن}


Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu (HR. Abu Daud dan turmudzi, Hadits ini dinyatakan Hasan)[24]

C. KESIMPULAN

Dari uraian singkat diatas dapat disarikan kesimpulan sebagai berikut:
  1. As-sunnah adalah sumber hukum Islam kedua yang sudah tidak dipertentangkan lagi. Hal ini benar-benar menjadi bukti bahwa Islam adalah suatu sistem kehidupan yang syamil, termasuk masalah-masalah ekonomi.
  2. Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ekonomi sebagaimana telah diuraikan diatas merupakan sumber hukum yang jelas bahwa lembaga keuangan syari’ah yang ada sekarang ini telah berupaya untuk melaksnakan transaksi-transaksi yang sesuai dengan syariah.

DAFTAR PUSTAKA


Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia

Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Tarjamah), Semarang: As-Syifa, 1990

Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah, dalam Pusaran Perekonomian Global sebuah Tuntutan dan Realitas, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009

Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1973

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani &Tazkia cendikia, 2001

Suharto, Hukum Islam tentang Perjanjian Kerja, Lampung: Fakta Press IAIN Raden Intan, 2009




[1] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1973), Cet. Ke-7, h.11
[2]Ahmad asy-Syarbasyi, al-Mu’jam al-Iqtisad al-Islami, (Beirut: Dar Alamil Kutub,1987) dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani &Tazkia cendikia, 2001)  Cet. Ke-13, h. 95.
[3] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., h. 117
[7] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
[8] Suharto, Hukum Islam tentang Perjanjian Kerja, (Lampung: Fakta Press IAIN Raden Intan, 2009), h.52
[9] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., h. 120
[10] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., h. 123
[12] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah
[13] Ibid., h. 90
[14] Ibid., h. 101
[15] Ibid., h. 91
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Tarjamah), (Semarang: As-Syifa, 1990), Juz. 3 , h. 233
[17] Ibid., h.131
[18] Ibid., h.132
[19] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah, dalam Pusaran Perekonomian Global sebuah Tuntutan dan Realitas, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009), h. 71
[24] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia

2 komentar:

mohon ijin share ya,.. semoga menjadi amal jariah bagi Panjenengan sekeluarga...

Boleh copy ibu artikelnya?

Posting Komentar