Jumat, 19 Agustus 2011

Studi Hadits


UJIAN AKHIR SEMESTER

  1. Hadis yang diamalkan harus otentik (Shahih)

1.      Kriteria Keshahihan hadis adalah:

Hadis shahih adalah hadis yang terpenuhi kriteria diterimanya hadis untuk dijadikan dasar hukum. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
a.       Sanadnya bersambung, yakni mulai dari Rijalul Hadis (Perawi) terus bersambung Sampai kepada Rasulullah. Syarat bersambung ini antara lain semasa/bertemu.
b.      Perawinya harus ‘adil, artinya ia harus seorang muslim yang baik, Dewasa, tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil dan menjaga muru’ah/harga diri.
c.       Perawinya harus al-Dhobid, artinya hafalnnya sangat kuat dan tidak ada malasah dengan hafalnnya dalam hadis yang diriwayatkan, dan bila secara tulisan datanya akurat.
d.      Tidak ada Syazz, Tidak janggal / masuk akal dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
e.       Tidak ada illat / cacat, kecacatan ini dapat disebabkan oleh perawi yang Pembohong, Fasik, dan atau cacat moral.

Bila terpenuhi semua kriteria ini maka hadisnya disebut hadis shahih. Dan bila ada masalah pada ke dhabid-an salah seorang perawi maka hadisnya disebut hadis hasan.

2.      Perbedaan dengan hadis dhaif dan maudhu’:

Perbedaan hadis shahih dengan hadis dhaif dan maudhu’ sesuai dengan defenisi yang dikemukakan oleh Dr. Alamsyah, M.Ag, dkk, hadis dhaif yaitu:
مَا فَقَدَ شَرْطًا اَو اَكْثَرَ مِنْ شُرُوطِ الصَحِيْحِ اَو ال؛َسَنِ
Artinya: Yaitu hadits yang hilang salah satu atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.[1]
Artinya bila tidak terpenuhi syarat/kriteria hadis shahih dan hasan maka ia disebut hadis dhaif. Itu artinya hadisnya ditolak/mardud dan tidak diperbolehkan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan hukum syar’i.

Sedangkan hadis maudhu’ sesuai dengan defenisinya yaknu hadis palsu maka cukup jelas bahwa ini bukan hadis melaikan karangan belaka dan mutlak kebohongannya.

3.      Hadis dhaif dan maudhu’ tidak boleh diamalkan karena:

Hadis dhaif tidak boleh diamalkan dikarenakan ada kekhawatiran matan yang ada tidak benar karena terputusnya sanad yang ada. Ulama berbeda pendapat. Ada yang tidak membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkannya bila hanya dalam masalah fadhail amal. Sedangkan ulama fikih membolehkannya secara mutlak.
Sedangkan hadis maudhu’ mutlak tidak boleh diamalkan karena sejatinya ia bukan hadis Nabi.
 

  1. Hadis yang otentik harus dipahami maknanya secara tepat untuk diamalkan dalam kehidupan.

1.      Metode-metode memahami hadis adalah sebagai berikut:

Untuk dapat menangkap maksud kandungan Hadits Nabi yang mempunyai berbagai status sosial seperti di atas, maka perlu ada metode memahaminya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai Hadits yang sebenarnya, diantara metode itu adalah :
a.      Metode Tekstual
Bentuk metode tekstual ini sama halnya disebut dengan istilah pemahaman teks secara ‘harfiah’, yaitu pemahaman hadist sebagai sumber ajaran Islam dengan hanya melihat makna harfiah (satuan huruf), tanpa memperhatikan latar belakang kemunculan hadits maupun sejarah pengumpulannya.[2] Tipe pemahaman ini oleh ilmu sosial dikategorikan sebagai pemahaman a-historis (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits).
Pemahaman tekstualis merupakan metode klasik yang dipraktekkan oleh ulama dahulu seperti yang dikenal sebagai tokoh tekstualis adalah Abu Dawud al-Zahiri (madzhab Zahiri), dan ulama yang cenderung mendukung pemikiran ini adalah Imam as-Syafi’i. Praktek pemahaman tekstual hanya dengan melihat makna apa yang tertulis dalam kalimat hadits itu tanpa ada kecenderungan untuk memalingkan makna dalam arti yang tidak sebenarnya menurut makna harfiah, seperti tidak memandang saat hadits tersebut disampaikan apakah Nabi bertindak sebagai Rasulullah yang setiap ajarannya harus diikuti dan mengikat, dan ataukah Nabi sebagai qadhi/mufti, pemimpin dan manusia biasa yang ajarannya tidak wajib diikuti dan tidak mengikat.

b.      Metode Kontekstual
Metode kontekstual, yaitu pemahaman hadits sebagai sumber ajaran Islam secara kritis konstruktif dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul hadits (asbabul wurud) tersebut.[3] Metode ini cenderung memahami secara kondisional dan situasional ketika hadits itu muncul. Mujtahid yang beraliran ini pada awalnya tidak dikenal karena masih didominasi oleh kalangan tektualis, namun pada dasawarsa terakhir ini justru pemahaman secara kontekstual menjadi populer dan banyak digandrungi oleh kalangan modernis. Embrio terhadap pemahaman kontekstual ini pada awalnya muncul dari ulama yang cenderung menggunakan akal yang disebut dengan ahlu ra’yi, yaitu Imam Abu Hanifah dan kelompok ahlu ra’yi lainnya, yang kemudian didukung oleh Imam al-Qarafi (w. 694) dengan kitabnya al-Furuq, dan Imam al-Syatibi dengan kitabnya al-Muwaffaqat.

2.      Metode yang tepat untuk memahami hadis dan contoh pemahamannya menurut hemat penulis adalah:

Kedua metode ini masih relevan untuk digunakan dalam memahami hadis Rasulullah Saw. Hal ini bergantung pada konteks hadis yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Boleh jadi ada hadis yang memang lebih tepat dipahami berdasr pada teks yang ada contoh:

ان النبي صلى الله وآله وسلم قال : ثلاث فيهن البركة، البيع الى اجل ، والمقارضة،
وخلط البربالشعير للبيت لا للبيع {رواه ابن ماجح عن صهيب}

Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).[4]

Namun ada juga yang lebih tepat dipahami sesuai konteks hadis tersebut bukan teks yang ada contoh:

عن ابن مسعود ان النبي صلى الله عليه وسلم قال ما من مسلم يقرض مسلما قرضا
 مرتين الا كان كصدقتها مرة

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi Saw. Berkata, bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah. (HR. Ibnu Majah no.2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)[5]

Hadis diatas bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk meminjamkan kepada muslim / saudara kita sebanyak dua kali, melaikan lebih menekankan pada ta’awun/saling membantu, artinya alangkah lebih baik dan akan lebih terasa ukhuwah diantara sesama muslim bila kita dapat memberikan batuan yang berupa sedekah bukan malah menambah beban saudara dengan memberinya hutang yang berlipat-lipat.

  1. Pilih salah satu hadis ekonomi dibawah ini (pilihan harus beda) lalu:
 Hadits :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَة رَفَعَهُ قَالَ اِنَّ اللهَ يَقُولُ : اَنَا ثَا لِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ
فَاِذَ خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
1.         Terjemahan hadis tersebut secara kata per kata (mufradhat) adalah:

اَنَا              : Aku / Saya
ثَا لِثُ           : Pihak ketiga
الشَّرِيكَيْنِ      : Dua orang yang berserikat
مَالَمْ             : Selama tidak ada
يَخُنْ            : Pengkhianatan
اَحَدُهُمَا         : Salah satu diantara keduanya
صَاحِبَهُ        : Saudaranya/ Sahabatnya
فَاِذَ              : Maka Jika
 خَانَهُ          : Mengkhianatinya
 خَرَجْتُ       : Aku telah keluar
 مِنْ بَيْنِهِمَا     : Dari Keduanya / dari antara keduanya

2.         Terjemahan matan hadis tersebut adalah:

“Aku Pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya. Jika salah satunya berkhianat maka Aku Keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)

3.         Ajaran-ajaran pokok yang terdapat dalam hadis tersebut adalah:

Hadis qudsi tersebut menunjukkan bahwa :

a.       Allah cinta terhadap hamba-hambanya yang melakukan perkongsian/ perserikatan/ musyarokah (sampai-sampai Allah mempersonifikasikan diri sebagai pihak ketiga).
b.      Musyarokah harus senantiasa didasari dan menjunjung tinggi amanat kebersamaan.
c.       Dalam musyarokah wajib menjauhi pengkhianatan (sikap berkhianat) terhadap saudara/pathner dalam musayarokah.

4.         Pendekatan yang tepat dalam memahami hadits tersebut adalah:

Pendekatan yang dapat kita gunakan untuk memahami hadis diatas antara lain:
a.    Pendekatan kebahasaan ialah memahami hadits dengan menangkap makna teks secara analogi terhadap lafadz hadits. Dalam hadis ini Allah mempersonifikasikan diri sebagai piahk ketiga artinya allah mencintai/meridhai akad musyarakah.
b.    Pendekatan sosio-historis yaitu, memahami hadits dengan memperhatikan latar belakang situasi sejarah social kemasyarakatan yang menyebabkan kemunculan suatu keputusan atau tindakan dari Nabi SAW.  Pemahaman dengan cara ini akan diketahui lingkup pemberlakuan hadits, apakah situasional atau universal.Hadis ini mencerminkan budaya yang terjadi pada saat itu. Yakni transaksi bisnis yang menggunakan akad musyarakah.
c.    Pendekatan psikologis yaitu, memahami hadits dengan cara memperhatikan kondisi kejiwaan Nabi dan masyarakat yang beliau hadapi sebagai obyek sasaran hadits tersebut. Hadits yang disampaikan Nabi adakalanya karena merespon dari pertanyaan sahabat tertentu yang melihat sesuai kondisi saat itu. Oleh karenanya perlu memahami hadits dari konteks kejiwaan Nabi maupun Sahabat yang dihadapi ketika itu, sebab dengan cara itu dapat diketahui maksud kandungan hadits itu yang sebenarnya. Kita semua juga memahami hati nurani kita tidak akan pernah dapat menerima sikap berkhianat, hal inilah yang dijadikan penegasan oleh Allah dalam hadis tersebut bahwa Allah tidak ridha terhdap segala bentuk pengkhianatan.

5.         Relevansi ajaran hadis tersebut dengan dunia ekonomi saat ini:

Hadis diatas masih sangat relevan untuk diterapkan dalam transaksi ekonomi yang ada. Mengapa demikian? Karena cukup jelas setiap nurani yang suci pasti tidak dapat menerima pengkhianatan/kebohongan. Hal ini pun yang dapat kita sebut sebagai etika bisnis.


[1] Dr. Alamsyah, M.Ag, Ilmu-Ilmu Hadits (Buku Daras), (Lampung: Pusikamla, Fak.Ushuludin IAIN Raden Intan, 2009), h. 37
[2] Ibid., h.12
[3] Ibid.,
[4] Fatwa  Dewan Syariah Nasional, Nomor:02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Tarjamah), (Semarang: As-Syifa, 1990), Juz. 3 , h.132

0 komentar:

Posting Komentar